Halaman

PENELUSURAN

Kamis, 06 Oktober 2011

MENGENAL LEBIH JAUH KYAI MANGUNARSO PENDIRI DESA BALEREJO ( 2 )

1. Agama Islam Pada Masa Kerajaan Surakarta.

Serat Centhini terdiri dari 12 jilid, disusun berdasarkan 2 naskah yang lebih tua yaitu Suluk Jatiswara yang ditulis pada masa pemerintahan PB II tahun 1784 dan sebuah Suluk
Centhini yang lebih pendek dan merupakan inti cerita Centhini sekarang. Kedua suluk tersebut ditulis atas perintah seorang Pangeran dari Surakarta ( yang kelak menjadi PB V ), yang kemudian ditulis kembali dengan berbagai tambahan oleh 3 orang pujangga yaitu Kyai Yasadipura II, Kyai Ranggasutrasna, dan Raden Ngabehi Sastradipura atau dikenal dengan nama Ahmad Ilhar ( Subardi, 1971 ).

Inti cerita dari Serat Centhini adalah tentang pemberontakan Giri terhadap Sultan Agung dari Mataram, dengan kekalahan Giri. Tiga orang putera Giri yaitu Jayengresmi, Jayengsari, dan Ken Rancangkapti melarikan diri, tetapi dalam pelariannya mereka terpisah. Jayengresmi terpisah dari kedua adiknya, yaitu Jayengsari dan Ken Rancangkapti.

Jayengresmi dalam pelariannya sampai ke Pesantren Wanamarta ysng dipimpin oleh Ki Baji Panurta. . Jayengresmi menjadi murid Ki Baji Panurta.dan karena sangat pandai serta pengetahuan keagamaannya sangat tinggi sehingga ia disebut Syaikh ( Seh ) Among Raga dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ken Tambang Raras.

Seh Among Raga sering mewejang berbagai hal, antara lain : moral dan agama kepada istrinya, Ken Tambang Raras. Seorang pelayan wanita bernama Ni Centhini selalu mendampingi Ken Tambang Raras sehingga ia ikut mendengarkan wejangan Seh Among Raga.

Pada suatu hari Seh Among Raga berpamitan kepada istri dan kedua mertuanya untuk mencari kedua adiknya. Dalam perjalanan kali ini Jayengresmi atau Seh Among Raga mengunjungi tempat-tempat keramat dan menjalankan tapa di tempat-tempat itu. Akhirnya ia tertangkap dan dihukum oleh Sultan Agung.dengan ditenggelamkan di laut.
Seh Among Raga selain dituduh pernah memberontak, juga dianggap menyalahi syariah dengan menjalani tapa dan sebagainya.

Dalam perjalanan mencari suaminya, Ken Tambang Raras dan Ni Centhini berjumpa dengan kedua saudara almarhum suaminya, yaitu Jayengsari yang juga bernama Mangunarasa dan Ken Rancangkapti.
Selain cerita int,i Serat Centhini sarat dengan berbagai informasi tentang keagamaan, mitologi, ritual dan sebagainya, termasuk cerita Cibolang yang sangat panjang. Menarik perhatian adalah uraian tentang agama Islam yang berkembang pada masa itu ( sekitar pemerintahan PB III sampai PB VIII ) dan adanya pertentangan agama Islam.
Ajaran Seh Among Raga kepada Ken Tambang Raras menyebut tentang Hukum Islam ( Fikih ), dengan kitab-nya dari Mazhab Syafii, tentang Teologi ( Ilm Al-Kalam ), tentang tarekat- tarekat Qadiriyyah, satu tarekat Sufi yang paling awal, dengan kitabnya dalam
Centhini disebut Tapsir Djalalen, dan beberapa kitab Tasawuf antara lain : Hulumodin ( Ihya’ Ulum al Din ), Insan Kamil dan Adkia.

Di samping itu, ia mengajarkan bahwa dalam Sufi ada 4 tingkat jalan mistik, yaitu sarengat ( syariah ), tarekat, hakekat, dan makripat ( makkrifat ). Sarengat dan Tarekat dikatakan sebagai wadah sakalir ( wadah ), Hakekat dan Makripat sebagai widji nugraha ( benih ). Selanjutnya Seh Among Raga menekankan bagaimana pentingnya syariah dan dipesan jangan sampai meninggalkannya.

Namun menjelang akhir cerita, rupanya Seh Among Raga mulai meninggalkan syariah dan lebih gemar bertapa dan mengunjungi tempat-tempat yang angker untuk memperoleh kekuatan magis agar dapat membalas dendam kepada Sultan Agung.

Menurut Subardi, kedua sikap Seh Among Raga yang kontrakdiktif ini adalah lambag pertentangan agama yang terjadi waktu itu ( Subardi, 1971 ). Aliran tasawuf yang berkembang di Jawa adalah ajaran Al-Ghazali yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunah Nabi, ajaran Ibn Al-Arabi yang dikenal dengan ajaran wahidad al-wujud ( martabat tujuh ), dan ajaran Al-Hallaj yang cenderung panteistis ( ’ana al-haqq ).

Islam yang dianggap betul oleh para wali dan ulama ketika itu adalah menjalankan keempat tahap ( syariah, tarekat, hakekat dan makrifat ), mencari ilmu dan menunaikan kewajiban-kewajiban agama sesuai dengan perintah syariah sebagai wadah untuk praktek mistik yang dilakukan secara pribadi. Sikap seperti itu yang dianggap ideal oleh raja ( Woodward, 1989 : 154 ).

Seorang wali penganut Al-Hallaj yaitu Syech Siti Jenar mengabaikan syariah dan langsung mengajarkan tingkatan-tingkatan tarekat, hakekat dan makrifat sehingga membingungkan murid-muridnya yang kebanyakan masih pemula. Oleh karena itu diputuskan oleh para wali untuk menghukum mati Syech Siti Jenar.

Walaupun Syech Siti Jenar telah dihukum mati, tetapi ajarannya yang bertendensi panteistik ( jumbuhing kawula gusti ) tidak ikut mati. Dalam Serat Cibolek misalnya terdapat nama Haji Mutamakin yang hidup pada masa pemerintahan PB II menyatakan dirinya telah mencapai kasunyatan yaitu “ menjadi Muhammad “ dan menganjurkan untuk meninggalkan syariah. Untung bagi Haji Mutamakin karena sebelum hukuman mati dijalankan Raja PB II wafat.

Selain itu masih ada lagi yang dihukum mati karena mengikuti keyakinan Syech Siti Jenar yaitu Sunan Panggung yang di bawah Sultan Demak dihukum baker, Ki Baqdad dari Panjang yang ditenggelamkan di sungai, dan Seh Among Raga ( dalam Centhini ) yang dihukum oleh Sultan Agung, dengan ditenggelamkan di laut.

Perlu disinggung di sini, bahwa maraknya ajaran Syech Siti Jenar di Jawa kemungkinan ada kaitan dengan ajaran Hindu yang bersifat panteistis-monistis , yang menganggap Atman ( jiwa manusia ) adalah bagian dari Brahman ( jiwa alam ). Ketika agama Islam masuk ke Jawa sekitar abad XV Masehi, timbul penyesuaian-penyesuaian antara kebudayaan Jawa Hindu-Budha yang adiluhung dengan kebudayaan Islam ( Mustopo, 2000 ).

Penyesuaian ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung, cucu Senopati yang memerintah di Mataram Islam pada tahun 1613-1645. Bentuk perpaduan kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam ini dikenal dengan nama Islam Kejawen.

Pada jaman Surakarta hidup tokoh Islam Kejawen yaitu pujangga terkenal Ronggowarsito, ketika masih muda pernah menjadi murid di Tegalsari. Dengan sendirinya orang Jawa yang sudah mengenal konsep aham brahma’sini ( Saya adalah Brahman ) atau Tat Twam Asi ( Kamu adalah Aku ), dengan mudahdapat menerima tendensi panteistik Al-Hallaj yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar, yaitu konsep jumbuhing kawula gusti.

Pertentangan penganut Islam yang menjalankan syariah dan penganut Syech Siti Jenar ini yang ditemui oleh Kyai Mangunarso, dan mungkin pertentangan inilah yang beliau lerai .
Kyai Mangunarso dianggap sebagai ideal oleh raja ( PB VII ), dan ditambah dengan jasa beliau melerai 2 aliran tersebut di atas, Kyai Mangunarso diberi haiah seorang puteri PBV untuk dijadikan istri dan sebuah tanah perdikan di madiun yaitu tanah perdikan Baleharjo ( Balerejo ) sekarang.

Menurut keterangan Serat Cebolek, seorang ulama yang ideal dihormati oleh raja dan masyarakat melebihi hormat yang diberikan kepada seorang bupati.

Tidak ada komentar: