Halaman

PENELUSURAN

Senin, 17 Oktober 2011

MENGENAL LEBIH JAUH KYAI MANGUNARSO PENDIRI DESA BALEREJO ( 5 )

IV. Pendidikan Agama Islam di Balerejo.

Kyai Mangunarso meninggalkan sebuah langgar ( mushola ) yang terletak di halaman “ Bale Griyo Balerejo “, di sebelah Barat pendapa dan sebuah “ masjid-makam “tidak jauh dari “ Bale Griyo Balerejo “. Masjid-makam adalah sebuah jenis masjid yang dihubungkan dengan makam di belakangn mihrabya. Makam tersebut biasanya adalah makam orang yang diagungkan\dihormati oleh pemakai masjid misalnya seorang raja dengan keluarganya, para ulama dan sebagainya.

Budaya manakah yang mempertautkan makam dan masjid menjadi satu kompleks sanctum Menurut Wiryomartono, semua ini bukan pengaruh Islam di Jazirah Arab, ttapi budaya local melalui penafsiran para wali. Sebagai contoh : makam dan masjid Sunan Sendang di Lamongan, makam dan masjid Sunan Gunung Jati di Cirebon dan sebagainya ( 1995 : 10 ).

Makam ( pesarean ) di belakang Masjid Balerejo terdiri atas 2 bagian yang dipisahkan oleh sebuah jalan kecil yang membujur dari Timur ke Barat. Pada awalnya makam di bagian Utara untuk Kyai Mangunarso sekeluarga serta keturunannya , sedangkan bagian Selatan untuk umum. Namun pembagian ini sudah tak berlaku lagi.

Menurut buku karangan Bapak Moh. Kamil dan “ Kisah Eyang-Eyang Kita”, langgar di “ Bale Griyo Balerejo “ dipakai untuk tempat belajar mengaji para putro wayah, anak- anak putro sentono dan lain-lainnya serta dipakai shalat , termasuk shalat jamaah. Langgar ini dapat memuat 50 orang. Seorang guru mengaji diberi rumah di belakang langgar. Kyai Mangunarso sendiri tidak perah mengajar, tetapi mendatangkan guru mengaji dari Banjarsari yaitu Haji Imam Ghazali, kemudian ada seorang guru mengaji lainnya yaitu Ki Imam Duryat yang berasal dari Magelang.

Pusat pendidikan agama Islam di Balerejo adalah di “ masjid-makam “ sehingga masjid ini pun berfungsi sebagai masjid-madrasah “.Kyai Mangunarso tidak mempunyai pondok pesantren, tetapi beberapa jenis pondok ada yang didirikan di dekat masjid.

Jumat, 14 Oktober 2011

MENGENAL LEBIH JAUH KYAI MANGUNARSO PENDIRI DESA BALEREJO ( 4 )

III. Fungsi dan Makna Simbolis Bale Griyo Balerejo.

Kyai Mangunarso telah meninggalkan beberapa benda, yaitu sebuah rumah berbentuk joglo yang dikenal sebagai “ Bale Griyo Balerejo “, sebuah “ masjid makam “, sebuah langgar, sawah dan lain sebagainya.

Rumah berbentuk joglo bagi orang Jawa adalah rumah untuk golongan bangsawan dan kemudian ditiru oleh orang-orang kaya yang tidak mau kalah dengan para bangsawan. Alasan sebenarnya mengapa hanya bangsawan dahulu yang mampu mendirikan rumah joglo karena rumah ini membutuhkan sangat banyak bahan, jadi biayanya sangat mahal.

Uraian tentang rumah-rumah tradisonal Jawa, khususnya rumah joglo, terdapat dalam “ Serat Chentini “, kitab “ Kawruh Kalang “, dan primbon. Namun uraian pada ketiga kitab tersebut lebih banyak bersifat teknis, ukuran-ukuran, jenis-jenis kayu atau bahan yang baik untuk dipergunakan dan sebagainya. Terdapat jenis-jenis rumah joglo, menurut uraian Ismunandar terdapat 12 macam, namun “ Bale Griyo Balerejo “ masuk macam yang mana perlu penelitian lebih jauh.

Deskripsi “ Bale Griyo Balerejo “ telah dilakukan di dalam buku karangan Bapak Moh. Kamil, tetapi penamaannya yang sedikit berbeda. Susunan ruangan biasanya dibagi menjadi 3 ruangan yaitu : pendapa, pringgitan ( dalam buku Bapak Moh. Kamil disebut ‘ Kampung ‘ ), dalem atau rumah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat 3 buah sentong ( kamar ), yaitu Sentong Kiwa, Sentong Tengah dan Sentong Tengen ( dalam buku Bapak Moh. Kamil, kamar tidak disebut sentong tetapi gedong ). Tatanan ruang lainnya tak berbeda dengan tatanan pada rumah joglo pada umumnya.

Pada beberapa rumah joglo milik bangsawan atau orang yang mampu, sebuah langgar ( mushola ), didirikan di dalaman sebelah Barat pendapa. Demikian pula kehadiran sendang sering terdapat pada kompleks rumah joglo.

Rumah joglo berdenah bujur sangkar dengan 4 buah saka guru ada di tengah-tengah ruangan menyangga atap brunjung. Saka guru ini diberi hiasan, antara lain : hiasan prabha ( lingkaran sinar ), berbagai hiasan geometris antara lain tumpal, mirong, daun- daunan. Menurut Bapak Moh. Kamil, hiasan pada saka guru Bale Griyo Balerejo berupa condro sengkolo memet ( angka tahun yang disembunyikan dalam bentuk ukiran hiasan ).
Apabila benar demikian, maka angka tahun tersebut mungkin menunjuk pembangunan rumah tersebut.

Dari semua bagian rumah yang penting adalah keempat saka guru tersebut karena mengandung makna simbolik. Konsep jasad tradisional Jawa erat kaitannya dengan konsep pra-Islam, yang menggambarkan adanya konsep Dunia Besar ( makrokosmos ) yaitu alam semesta dan Dunia Kecil ( mikrokosmos ) yaitu dunia yang ada di sekitar hidup manusia, termasuk manusianya sendiri. Keduanya saling terkait, karena mikrokosmos adalah miniatur dari makrokosmos.

Persamaan antara mikrokosmos dan makrokosmos ini memunculkan pandangan adanya poros ( axismundi ) yang ada di titik pusat ( the center ) yang terdapat pada semua mikrokosmos. Titik pusat ini sangat penting, karena merupakan terpusatnya kekuatan ghaib dan kemudian menyebarkan kekuatan tersebut ke segala arah. Poros ( axismundi ) yang ada di titik pusat ini diwujudkan sebagai lambang-lambang tertentu, misalnya pohon, tiang, gunung, atap yang menjulang tinggi, tangga, spiral dan sebagainya.

Di samping itu terdapat pula kepercayaan adanya 3 dunia, yaitu Dunia Bawah ( dunia orang mati ), Dunia Tengah (dunia manusia ), dan Dunia Atas ( dunia dewa-dewa, nenek moyang dan pahlawan ). Ke 3 dunia ini membentuk 3 lapisan yang dihubungkan oleh suatu poros ( axismundi ). Dengan lain perkataan poros ini yang merupakan titik pusat kosmos, menembus dinding pemisah-pemisah 3 lapisan dunia tersebut di atas. Melalui poros dunia ini manusia dapat mengadakan hubungan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah ( Eliade, 1991 : 27-47 ).

Atap brunjung rumah joglo yang menjulang tinggi adalah lambang poros dunia ( axismundi ), sedangkan ke 4 saka guru merupakan lambang 4 mata angin yaitu : Utara, Selatan, Barat dan Timur. Menurut berbagai cerita dalam buku karangan Bapak. Moh. Kamil dan “ Kisah-Kisah Eyang Kita ‘, rumah yang sekarang dikenal sebagai “ Bale Griyo Balerejo “ dibuat oleh Kyai Mangunarso untuk Nyai Mangunarso.

Rumah berbentuk joglo sangat tepat untuk Nyai Mangunarso karena rumah joglo adalah rumah untuk kaum bangsawan dan bentuknya sangat mirip dengan rumah joglo di Keraton Surakarta. Namun Kyai Mangunarso kemungkinan juga membangun rumah tersebut untuk keturunannya, tetapi hal ini akan kita bicarakan kemudian.

Selasa, 11 Oktober 2011

MENGENAL LEBIH JAUH KYAI MANGUNARSO PENDIRI DESA BALEREJO ( 3 )

II. Keadaan Sosial-Ekonomi dan Sosial Politik Masa Surakarta.

Seperti telah dikemukakan di atas, karena jasanya melerai perselisihan, Kyai Mangunarso diberi hadiah, seorang puteri dan sebuah tanah perdikan. Memberikan hadiah bagi orang yang berjasa dianggap kebijaksanaan raj yang baik. Pemberian hadiah berupa tanah perdikan ini telah berlangsung lama di Jawa, mulai dari raja- raja Mataram Hindu di Jawa Tengah ( mulai abad VIII ), dan dikenal dengan nama Tanah Sima.

Tanah perdikan adalah sebidang tanah \ daerah yang dihadiahkan kepada seseorang yang berjasa atau untuk membiayai tempat suci tertentu. Pajak yang harusnya dibayarkan kepada raja dialihkan pembayarannya kepada orang yang berjasa tersebut atau dipakai membaiayai tempat suci tersebut di atas. Kyai Mangunarso rupanya berkeendak memanfaatkan pendapatan tanah miliknya untuk kesejahteraan penduduk tanah perdikan termasuk para petani.

Hal-hal apakah yang mendorong Kyai Mangunarso untuk memakmurkan rakyat daerah perdikannya.

Pada waktu itu ( abad XIX ), Jawa seluruhnya telah dikuasai oleh Belanda. Sejak permulaan cultuurstelsel ( tanam paksa ) rakyat di desa merasa tertekan secara ekonomis karena petani secara dipaksa secara bergiliran menanam tanaman untuk dieksport di tanah mereka. Dalam rangka politik mereka, Belanda menyerahkan penarikan upeti kepada elite priyayi dan pejabat-pejabat pusat atau daerah, maka mereka seringkali dikaitkan dengan para penjajah ( pemerintah colonial ).

Tidak jarang terjadi kesewenang-wenangan dan hal-hal semacam inilah yang menimbulkan ketidak puasan , kemudian muncul gejolak-gejolak antara lain : Perang Diponegoro ( Suseno, 1993 : 35 ). Kyai Mangunarso hidup pada masa itu dan suasana itulah menjadi salah satu pendorong Kyai Mangunarso untuk memakmurkan rakyat daerah perdikannya.

Kamis, 06 Oktober 2011

MENGENAL LEBIH JAUH KYAI MANGUNARSO PENDIRI DESA BALEREJO ( 2 )

1. Agama Islam Pada Masa Kerajaan Surakarta.

Serat Centhini terdiri dari 12 jilid, disusun berdasarkan 2 naskah yang lebih tua yaitu Suluk Jatiswara yang ditulis pada masa pemerintahan PB II tahun 1784 dan sebuah Suluk
Centhini yang lebih pendek dan merupakan inti cerita Centhini sekarang. Kedua suluk tersebut ditulis atas perintah seorang Pangeran dari Surakarta ( yang kelak menjadi PB V ), yang kemudian ditulis kembali dengan berbagai tambahan oleh 3 orang pujangga yaitu Kyai Yasadipura II, Kyai Ranggasutrasna, dan Raden Ngabehi Sastradipura atau dikenal dengan nama Ahmad Ilhar ( Subardi, 1971 ).

Inti cerita dari Serat Centhini adalah tentang pemberontakan Giri terhadap Sultan Agung dari Mataram, dengan kekalahan Giri. Tiga orang putera Giri yaitu Jayengresmi, Jayengsari, dan Ken Rancangkapti melarikan diri, tetapi dalam pelariannya mereka terpisah. Jayengresmi terpisah dari kedua adiknya, yaitu Jayengsari dan Ken Rancangkapti.

Jayengresmi dalam pelariannya sampai ke Pesantren Wanamarta ysng dipimpin oleh Ki Baji Panurta. . Jayengresmi menjadi murid Ki Baji Panurta.dan karena sangat pandai serta pengetahuan keagamaannya sangat tinggi sehingga ia disebut Syaikh ( Seh ) Among Raga dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ken Tambang Raras.

Seh Among Raga sering mewejang berbagai hal, antara lain : moral dan agama kepada istrinya, Ken Tambang Raras. Seorang pelayan wanita bernama Ni Centhini selalu mendampingi Ken Tambang Raras sehingga ia ikut mendengarkan wejangan Seh Among Raga.

Pada suatu hari Seh Among Raga berpamitan kepada istri dan kedua mertuanya untuk mencari kedua adiknya. Dalam perjalanan kali ini Jayengresmi atau Seh Among Raga mengunjungi tempat-tempat keramat dan menjalankan tapa di tempat-tempat itu. Akhirnya ia tertangkap dan dihukum oleh Sultan Agung.dengan ditenggelamkan di laut.
Seh Among Raga selain dituduh pernah memberontak, juga dianggap menyalahi syariah dengan menjalani tapa dan sebagainya.

Dalam perjalanan mencari suaminya, Ken Tambang Raras dan Ni Centhini berjumpa dengan kedua saudara almarhum suaminya, yaitu Jayengsari yang juga bernama Mangunarasa dan Ken Rancangkapti.
Selain cerita int,i Serat Centhini sarat dengan berbagai informasi tentang keagamaan, mitologi, ritual dan sebagainya, termasuk cerita Cibolang yang sangat panjang. Menarik perhatian adalah uraian tentang agama Islam yang berkembang pada masa itu ( sekitar pemerintahan PB III sampai PB VIII ) dan adanya pertentangan agama Islam.
Ajaran Seh Among Raga kepada Ken Tambang Raras menyebut tentang Hukum Islam ( Fikih ), dengan kitab-nya dari Mazhab Syafii, tentang Teologi ( Ilm Al-Kalam ), tentang tarekat- tarekat Qadiriyyah, satu tarekat Sufi yang paling awal, dengan kitabnya dalam
Centhini disebut Tapsir Djalalen, dan beberapa kitab Tasawuf antara lain : Hulumodin ( Ihya’ Ulum al Din ), Insan Kamil dan Adkia.

Di samping itu, ia mengajarkan bahwa dalam Sufi ada 4 tingkat jalan mistik, yaitu sarengat ( syariah ), tarekat, hakekat, dan makripat ( makkrifat ). Sarengat dan Tarekat dikatakan sebagai wadah sakalir ( wadah ), Hakekat dan Makripat sebagai widji nugraha ( benih ). Selanjutnya Seh Among Raga menekankan bagaimana pentingnya syariah dan dipesan jangan sampai meninggalkannya.

Namun menjelang akhir cerita, rupanya Seh Among Raga mulai meninggalkan syariah dan lebih gemar bertapa dan mengunjungi tempat-tempat yang angker untuk memperoleh kekuatan magis agar dapat membalas dendam kepada Sultan Agung.

Menurut Subardi, kedua sikap Seh Among Raga yang kontrakdiktif ini adalah lambag pertentangan agama yang terjadi waktu itu ( Subardi, 1971 ). Aliran tasawuf yang berkembang di Jawa adalah ajaran Al-Ghazali yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunah Nabi, ajaran Ibn Al-Arabi yang dikenal dengan ajaran wahidad al-wujud ( martabat tujuh ), dan ajaran Al-Hallaj yang cenderung panteistis ( ’ana al-haqq ).

Islam yang dianggap betul oleh para wali dan ulama ketika itu adalah menjalankan keempat tahap ( syariah, tarekat, hakekat dan makrifat ), mencari ilmu dan menunaikan kewajiban-kewajiban agama sesuai dengan perintah syariah sebagai wadah untuk praktek mistik yang dilakukan secara pribadi. Sikap seperti itu yang dianggap ideal oleh raja ( Woodward, 1989 : 154 ).

Seorang wali penganut Al-Hallaj yaitu Syech Siti Jenar mengabaikan syariah dan langsung mengajarkan tingkatan-tingkatan tarekat, hakekat dan makrifat sehingga membingungkan murid-muridnya yang kebanyakan masih pemula. Oleh karena itu diputuskan oleh para wali untuk menghukum mati Syech Siti Jenar.

Walaupun Syech Siti Jenar telah dihukum mati, tetapi ajarannya yang bertendensi panteistik ( jumbuhing kawula gusti ) tidak ikut mati. Dalam Serat Cibolek misalnya terdapat nama Haji Mutamakin yang hidup pada masa pemerintahan PB II menyatakan dirinya telah mencapai kasunyatan yaitu “ menjadi Muhammad “ dan menganjurkan untuk meninggalkan syariah. Untung bagi Haji Mutamakin karena sebelum hukuman mati dijalankan Raja PB II wafat.

Selain itu masih ada lagi yang dihukum mati karena mengikuti keyakinan Syech Siti Jenar yaitu Sunan Panggung yang di bawah Sultan Demak dihukum baker, Ki Baqdad dari Panjang yang ditenggelamkan di sungai, dan Seh Among Raga ( dalam Centhini ) yang dihukum oleh Sultan Agung, dengan ditenggelamkan di laut.

Perlu disinggung di sini, bahwa maraknya ajaran Syech Siti Jenar di Jawa kemungkinan ada kaitan dengan ajaran Hindu yang bersifat panteistis-monistis , yang menganggap Atman ( jiwa manusia ) adalah bagian dari Brahman ( jiwa alam ). Ketika agama Islam masuk ke Jawa sekitar abad XV Masehi, timbul penyesuaian-penyesuaian antara kebudayaan Jawa Hindu-Budha yang adiluhung dengan kebudayaan Islam ( Mustopo, 2000 ).

Penyesuaian ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung, cucu Senopati yang memerintah di Mataram Islam pada tahun 1613-1645. Bentuk perpaduan kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam ini dikenal dengan nama Islam Kejawen.

Pada jaman Surakarta hidup tokoh Islam Kejawen yaitu pujangga terkenal Ronggowarsito, ketika masih muda pernah menjadi murid di Tegalsari. Dengan sendirinya orang Jawa yang sudah mengenal konsep aham brahma’sini ( Saya adalah Brahman ) atau Tat Twam Asi ( Kamu adalah Aku ), dengan mudahdapat menerima tendensi panteistik Al-Hallaj yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar, yaitu konsep jumbuhing kawula gusti.

Pertentangan penganut Islam yang menjalankan syariah dan penganut Syech Siti Jenar ini yang ditemui oleh Kyai Mangunarso, dan mungkin pertentangan inilah yang beliau lerai .
Kyai Mangunarso dianggap sebagai ideal oleh raja ( PB VII ), dan ditambah dengan jasa beliau melerai 2 aliran tersebut di atas, Kyai Mangunarso diberi haiah seorang puteri PBV untuk dijadikan istri dan sebuah tanah perdikan di madiun yaitu tanah perdikan Baleharjo ( Balerejo ) sekarang.

Menurut keterangan Serat Cebolek, seorang ulama yang ideal dihormati oleh raja dan masyarakat melebihi hormat yang diberikan kepada seorang bupati.

Selasa, 04 Oktober 2011

MENGENAL LEBIH JAUH KYAI MANGUNARSO PENDIRI DESA BALEREJO ( bahan sarasehan )

Penulis : Ny. Anie Santiko, Jakarta Januari 2002

Sekitar tiga kilometer sebelah barat Uteran Madiun, terletak Desa Balerejo yang dibangun Kyai Mangunarso. Tokoh yang sangat diagungkan baik oleh keturunan beliau maupun oleh masyarakat setempat dan sekitarnya.

Berbagai karangan mengenai beliau telah ditulis oleh keturunannya, selain silsilah terdapat dua karangan yang menarik yaitu “ Kyai Mangunarso Pembangun Desa Balerejo “ ( Kamil, 1969 ) dan “ Kisah Eyang-Eyang Kita “ ( RKM, tahun tak diketahui ).
Dalam kedua karangan itu antara lain telah dibahas tentang Kyai Mangunarso, asal-usulnya, pernikahan dengan salah seorang putri PB V yang bernama Bening Sundari sebagai hadiah PB VII setelah Kyai Mangunarso berhasil melerai pertikaian agama di Surakarta, tentang pendirian desa Balerejo, tentang pendirian Bale Griyo Balerejo dan sebagainya.

Pada sarasehan para cucu dan buyut Ki Muh. Karik yang diadakan di Bale Griyo Balerejo pada 11 Juli 2001 malam, muncul berbagai pertanyaan menyangkut riwayat Kyai Mangunarso, antara lain mengenai :
• Pertikaian agama yang bagaimanakah yang dilerai oleh Kyai Mangunarso, sehingga beliau mendapat anugerah putri PB V
• Apa sebab Kyai Mangunarso membangun Bale Griyo Balerejo di desa Balerejo
• Bagaimanakah sebenarnya ajaran-ajaran Kyai Mangunarso untuk keturunannya
dan sebagainya.

Dalam karangan kecil ini akan dicoba mencari fungsi dan makna simbolik Bale Griyo Balerejo dan akan dicoba untuk mengungkap ajaran Kyai Mangunarso. Untuk mengungkap hal yang disebut terakhir ini tidaklah mudah karena hingga sekarang belum ditemukan ajaran beliau yang berbentuk tulisan, walaupun terdapat beberapa wejangan ( nasehat ) yang dianggap sebagai ajaran Kyai Mangunarso.Wejangan yang terkait dengan masalah keagamaan, moral dan sosial ekonomi telah dihimpun antara lain oleh Nyi Mumpuni B. Sulaiman Hadi.

Untuk memahami berbagai wejangan tersebut dan menjawab berbagai pertanyaan di atas, ada baiknya kita ungkap terlebih dahulu agama, kehidupan social-ekonomil dan social-politik pada saat itu. Cara yang ditempuh untuk mengungkap hal- hal tersebut adalah :

1. melacak sosok Nyai Mangunarso yang diperkirakan putri PB V dan menikah dengan Kyai Mangunarso pada masa PB VII memerintah di Surakarta. Setelah memperoleh , maka dapat dipelajari dari berbagai sumber tertulis, baik dari Perpustakaan Baliwerti Keraton Surakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan UI, dan sebagainya mengenai bentuk agama Islam yang berkembang di Surakarta pada abad XVIII-XIX. Demikian pula akan kita pelajari tentang kehidupan social-politik\ekonomi masa itu untuk dapat mengerti sikap Kyai Mangunarso terhadap kehidupan wong cilik dan alas an beliau untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat.

2. mempelajari inti Serat Centhini untuk lebih memperdalam pengetahuan yang disebut pada butir 1 ( satu ). Serat Centhini sering dianggap semacam “ ensiklopedia “ kebudayaan Jawa yang berisi antara lain :
cerita semi-historis tentang jatuhnya Majapahit dan berdirinya Mataram Islam, cerita tentang candi-candi dan tempat-tempat suci lainnya, tentang keagamaan, tentang hal- hal yang bersifat magis, kehidupan seksual, dan sebagainya.

Di samping itu kita bandingkan dengan data dari Serat Cebolek ( ( Soebandi, 1975 ), Serat Bonnang atau Nasehat Seh Barri ( Drewes, 1969 ), dan beberapa kitab Babad.